28 April 2009

Si Cungkring

Kemarin, datang serombongan mahasiswa ke kampungku. Kedatangan mereka membuat segala apa yang ada di kampungku berubah saja. Mushola jadi ramai oleh anak-anak yang mereka ajari mengaji, yang tua-tua diajari baca-tulis, yang muda-muda mereka ajak untuk membina kampung sebaik mungkin. Adapula warga dari kampungku itu meminta dana ini-itu yang jelas tak ada hubungannya dengan program KKN yang sedang dijalankan. Jelas itu membuat para mahasiswa kelabakan.

Dan hari itu, aku bertemu dengan salah satunya. Saat itu aku sedang mancing di sungai. Aku pun langsung tertarik dengan mahasiswa satu itu. Waktu itu kulihat ia sedang hendak mandi di sungai. Kuperhatikan lama-lama, cungkring benar ia menurut penilaianku. Maksudku cungkring karena kulihat ia mempunyai badan yang tinggi kurus seperti tiang listrik, ditambah pula badan tinggi itu terbungkuk-bungkuk bilakah berjalan. Ada pada wajahnya yang cirus lonjong itu nongkrong kacamatanya yang tebal. Dan oleh karena keawamanku pada dunia perkuliahan yang mahal dan tak terjangkau oleh orang macam aku, aku simpulkan ia adalah macam mahasiswa yang menonjol di kelasnya namun bilakah ia berada di alam luas seperti kampungku ini sakitlah ia karena cungkringnya.

Itu baru penilaianku secara sekilas saja, atau lebih mirip meremehkan seseorang yang belum tentu seremeh apa yang kupikirkan. Secara tak sadar, karena setelah lama kuperhatikan mahasiswa itu, aku alihkan konsentrasiku pada pancingku yang tak juga disambar ikan, mahasiswa itu menghampiriku. Menebarkan senyumnya padaku, dan mengulurkan tangannya padaku sembari berkata namanya.

“Agus.”

“Muchsin.” balasku memperkenalkan diri.

“Gimana Mas, sudah dapat ikannya?” tanyanya basa-basi.

“Belum, sudah setengah jam aku tunggu kail pancingku ditarik ikan, tapi ikan entah ke mana pergi hari ini.”

“Em… memangnya sering Mas mancing disini?”

“Hanya di hari libur saja.”

“Eh, Mas.. sudah dulu ya. Aku ditunggu di rumah pak RT.”

Itulah awal pertemuan atau bisa dibilang pertemanan antara aku dengan Agus, si mahasiswa cungkring itu. Pada pertemuan berikutnya dan berikutnya lagi tambah kenallah aku pada si Agus cungkring itu.
****

Suatu malam, empat hari menjelang tujuh belasan, berkaitan dengan program yang dijalankan, para mahasiswa itu mengadakan suatu rapat yang tak lain membicarakan rencana bagaimana merayakan tujuh belasan. Adapun rapat itu diikuti oleh mahasiswa, tokoh kampung, dan para pemuda dan pemudi yang setidaknya diharapkan pada rencana itu dapat menyumbangkan tenaganya. Tampaklah pada rapat itu Agus amat vokal menyuarakan pendapatnya. Tidak seperti kulihat pada rapat-rapat yang sebelumnya, yang mana Agus hanya satu dua kali saja menyuarakan pendapatnya bahkan hanya diam saja pada rapat itu Agus amat bersemangat entah karena apa. Dan itu tidak hanya membuatku seorang yang takjub, teman-temanku pun yang sama pikirannya denganku bahwa Agus itu cungkring, terpesona benar dibuatnya.

Maka diputuskanlah akan diadakan berbagai lomba, hiburan dangdut, dan layar tancep untuk memeriahkan hari kemerdekaan negeri ini.

Setelah rapat itu selesai kuhampiri Agus dan mengajaknya untuk begadang di pos ronda menemaniku. Mau saja ia dengan ajakan itu. Dan ketika aku dan Agus hendak menuju pos, aku dan Agus bertemu dengan serombongan pemudi yang hendak berpulang ke rumahnya masing-masing. Tak kuduga Agus akan menyapa dan bersenyum kepada para pemudi itu. Dan kulihat pada wajahnya berseri entah karena apa aku tak tahu. Adapun para gadis itu membalasnya dengan tak segannya lalu cekikikan entah karena apa, aku pun tak tahu.

Ketika sampai aku dan Agus di pos, aku puji-puji dia oleh karena aktifnya pada rapat kali itu. Kutanya ada sebab apakah ia bisa seperti itu, ia hanya tersenyum dan menengadahkan wajahnya pada langit yang bertabur bintang menerawangkan sesuatu yang tak bisa kuketahui apakah itu.

Semalaman itu aku, Agus, dan beserta kedua bapak-bapak dari kampungku yang bertugas jaga di pos, bermain kartu poker untuk menghilangkan rasa kantuk. Sembari silih bergantian menceritakan cerita-cerita lucu yang membuat tawa menggelegak di malam yang mesra dan dingin itu.

Besoknya ketika waktu siang tiba, kudengar Agus sakit mungkin terserang flu atau masuk angin. Dan karena itu aku jadi merasa bersalah telah mengajak Agus begadang semalaman di pos. Ketika kujenguk ia di rumah yang sementara ia tinggali ketika KKN, kudapati ia meringkuk dengan selimutnya yang tebal dan menggigil karena demam. Kuusulkan pada temannya untuk membawanya ke puskesmas sore nanti biar tak tambah parah sakitnya itu.

Malam menjelang hari tujuh belasan kulihat keadaannya telah membaik ia ikut pula sebentar menonton layar tancep yang memutar film Indonesia berjudul ‘Denias’ yang diadakan oleh teman-temannya sesama mahasiswa dengan alat yang disebut-sebut bernama viewer, entah aku tak mengerti arti kata itu, yang kumengerti hanyalah layar tancep itu lain benar dengan layar tancep waktu kecilku dulu.

Malam itu ia menonton di sampingku di antara kerumunan orang lain yang menonton pula. Namun hanya setengah jalan film itu diputar, ia sudah minta pamit beralasan rasa kantuknya yang tak tertahankan.

Namun pada hari berikutnya keadaan Agus tak juga membaik. Berapa kali ia diantarkan temannya ke puskesmas, namun keadaannya tak juga membaik. Aneh benar pikirku tentang si Agus saat itu. Sekalipun begitu tetap saja keadaan Agus itu membuatku merasa bersalah, oleh karena ajakanku pada malam yang telah lalu itu keadaan Agus jadi serupa itu. Namun kulihat Agus masih juga bisa tersenyum dengan keadaan itu.

Hingga menjelang berakhirnya waktu KKN yang dijalani Agus dan teman-teman mahasiswanya, keadaan Agus tak juga beranjak membaik. Dan ketika tiba waktu perpisahan para mahasiswa dengan warga kampungku, beratlah hatiku melihat betapa Agus menjalani hari-hari KKN dengan keadaan tubuh yang selalu tak bugar. Tambah berat pulalah mengingat itu semua karena ulahku. Ketika berpisah Agus pun hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih dan bermaaf bilakah ada salah yang ia sendiri tak menyadarinya. Aku pun membalasnya serupa itu, lega rasanya aku melihat Agus dapat tersenyum di waktu hendak berpisah.

Maka pergilah rombongan mahasiswa itu dengan disuruhkan para warga untuk membawa kenang-kenangan dari mereka yang bermacam-macam ragamnya.
****

Lima bulan telah berlalu sejak perginya rombongan mahasiswa KKN dari kampungku. Di satu hari libur, siang terasa amat terik, aku sedang melepaskan kelelahan di kamar setelah bekerja membuatkan kandang untuk kelinci adikku. Sebenarnya hendak kuisi hari itu dengan memancing berdua dengan pacarku di sungai, namun ketika hendak bersiap pergi aku disuruhkan bapak buatkan kandang kelinci untuk adikku. Adik ketika itu rajin benar merengek sama bapak, hingga akulah yang jadi korbannya. Aku pun mengeluh saja karena itu. Tak tahu aku nanti betapa marahnya pacarku, menunggu seseorang yang telah berjanji padanya tidak akan datang.

Belum lama aku berbaring di ranjang tidurku untuk istirahat, terdengar pintu rumahku diketuk seseorang. Lama kutunggu seorang dari keluargaku untuk membukakan pintu yang diketuk, namun tak juga ada yang bukakan. Mungkin semua pada pergi keluar, adik mungkin sedang di belakang sibuk dengan kadang kelincinya tak menghiraukan suara pintu yang diketuk. Dengan malas aku beranjak dari tempat tidur menuju pintu untuk melihat siapakah yang mengetuk pintu.

Dan betapa terkejutnya aku melihat seseorang dibalik pintu yang kubuka. Betapa pangling aku pada sesosok manusia satu ini. Perawakannya yang tinggi itu langsung saja membuatku merasa girang benar, dia Agus si cungkring. Pakaiannya bagus dan badannya yang dulu kurus, kini terlihat sedikit bertambah isi. Kacamatanya tak seperti kacamatanya yang dulu ia kenakan, kini lebih serasi dengan wajahnya yang cirus lonjong dengan mata yang agak sipit. Ia menenteng ransel ditangan kanannya, ketika bersalaman ia lepaskan tas itu. Lalu kusilahkan dirinya untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Sementara itu aku menuju dapur untuk mengambil minuman untuknya dan sedikit kripik yang mungkin ada sedikit di dapur. Betapa bedanya penampilannya kini, pikirku ketika berada di dapur.

Dan setelah selesai aku siapkan untuknya sekadar minuman dan kripik-kripik sisa, aku pun turut duduk bersamanya berhadap-hadapan.

“Bagaimana kabarmu, Gus?”

“Baik, Mas. Mas sendiri gimana?”

“Baik. Sudah makmur kau rupanya?” ditanya serupa itu ia malah tersenyum cengengesan. Lalu diceritakan dirinya setelah KKN ia lulus jadi sarjana, langsung diangkat jadi asisten dosen di fakultasnya. Dan aku anggap itu maklum saja melihat betapa keadaan dirinya itu sebagai orang yang suka bergelut dengan buku, dan dengan itu nilai bagus pun tak segan singgah padanya. Betapa pun awamnya aku tentang dunia di luaran sana, aku pikir pula Agus adalah macam orang yang beruntung karena selepas lulus langsung saja sebuah pekerjaan menantinya. Sementara ada di desaku para pemuda yang merantau ke kota besar berharap jadi sarjana dan selepas lulus lekas mendapat kerja, namun setelah selesai studinya, hanya menganggur saja di rumah orang tuanya. Sering kubaca di koran-koran, statistik yang menunjukkan omong kosong tentang naik-turunnya angka pengangguran di negeri ini. Nyatanya selalu saja pada tiap tahunnya ada bertambah pemuda yang menganggur di kampungku. Ada yang pemudi ngadongdot* ke kota untuk mencarikan makan keluarganya. Ada pula pemuda, jadi begal di tengah sawah, curanmor, copet dan sebagainya. Beruntunglah aku, selepas kululus dari SMA lekas bekerja pada pabrik rotan, dan sudah empat tahun aku bekerja aku diangkat jadi pengawas produksi dan itu membuatku bangga sendiri. Namun itu tak melenyapkan kekhawatiranku bahwa suatu waktu pabrik akan gulung tikar oleh karena adanya berbagai masalah yang selalu datang pada tiap harinya.

Lama ia menceritakan keadaan dirinya selama lima bulan itu, ia balik tanya kepadaku bagaimana keadaan kampung sejak kepergian dirinya dan teman-teman mahasiswanya. Kuceritakan seadanya dan semampu otakku bercerita. Dan ia pun hanya manggut-manggut mendengarkan, sebentar tersenyum ketika suatu peristiwa yang kuceritakan mengingatkan ia pada kegiatan KKN-nya lima bulan yang lalu. Pada saat selesai aku cerita demikian, aku tanya dia tentang kehidupan cintanya, adakah sudah tertambat seorang gadis pada hatinya, ia menjawab:

“Untuk itulah aku kesini Mas.”

“Apa maksudmu?” tambah kutertarik atas apa yang kutanyakan.

“Mas tahu kenapa pada rapat untuk menyambut tujuh belasan dahulu itu, aku amat aktif?” ditanya begitu ingatanku kembali peristiwa-pristiwa lima bulan yang lalu. Dan aku hanya bisa bergeleng kepala karena tidak tahu dan bertambah heran.

“Mas tahu kenapa aku sakit-sakitan sehabis Mas ajak aku begadang sehabis rapat?” lanjutnya bertanya padaku.

“Karena aku mengajakmu begadang semalaman kau pun jadi sakit saat itu.”

“Memang itulah awal penyebabnya. Namun ada satu sebab lain yang buatku jadi sakit-sakitan saat itu.” Berhenti sejenak, “Mas tahu ketika rapat malam itu banyak gadis-gadis kampung yang ikut serta dalam rapat?”

“Ya, em… jangan-jangan kau tertarik salah satunya?” tanyaku sambil menerka apa maksud di balik segala pernyataan dan pertanyaannya itu.

“Ya Mas, ada satu gadis yang hadir dalam rapat malam itu. Dia langsung membuatku sangat tertarik. Dengan itu pula kupaksakan diriku untuk aktif berpendapat pada rapat untuk membuat hatinya tertarik dan kagum. Lain dengan rapat-rapat sebelumnya yang tak ada gadis itu, aku hanya terdiam dan hanya satu dua kali berpendapat yang pendek-pendek saja. Mas ingat, ketika selepas rapat bertemu dengan gadis-gadis kampung ini?”

“Ya, aku ingat. Tapi tak dapat kuingat siapa saja gadis-gadis kampung ini yang kita temui waktu itu.”

“Diantara gadis-gadis itu ada satu gadis yang semula kutemui dalam rapat yang membuatku bersemangat pada malam itu. Karena saat itu pula mulai gadis itu membuatku tak bisa tidur dan dengan terpaksa aku mau bermain kartu bersama Mas dan dua orang bapak-bapak lainnya, semalaman.”

“Siapa? Apakah kau sudah mengenalnya waktu itu?”

“Waktu itu aku belum mengenalnya. Namun sehari setelah itu, berkat usul Mas ketika menganjurkan teman-temanku untuk membawaku yang sedang sakit ke puskesmas, aku bertemu lagi dengan gadis itu di puskesmas.”

“Maksudmu kau bertemu dengan gadis itu hendak memeriksakan suatu sakitnya di puskesmas, dan kau bertemu dengannya sama sebagai pasien.”

“Bukan mas, ia bukan pasien di puskesmas itu. Melainkan anak gadis mantri yang bertugas di puskesmas itu.”

“Apa yang kau maksud itu Titi?” dengan kaget kutanya dia. Keringat pun bermunculan di wajahku karena terkejutnya. Dan kutelan ludahku banyak-banyak.

“Ya, Mas. Adapun kalau orang-orang bilang aku ini cungkring, itu benar adanya. Karena selama kegiatan KKN itu aku sakit-sakitan terus, berulang kali membuatku harus berkunjung ke puskesmas. Aku jadi sering pula melihat wajah si Titi itu. Tambah pula sukaku padanya. Dan hingga kegiatan KKN itu berakhir dan aku pulang ke kota, Titi selalu terbayang-bayang di anganku Mas. Dan itu membuatku rindu ingin berkunjung kembali ke kampung ini.”

Sembari ia nyerocos terus mengutarakan betapa kesukaan dan kerinduannya pada Titi, aku termenung berpikir bagaimana menjelaskan keadaan Titi pada saat ini. Aku benar-benar bingung. Keringatku mengucur, aku gelisah. Mulutku ternganga karena kagetnya dan bingung harus bagaimana.

“Mas, Mas! Kok malah bengong tho? Kenapa Mas?”

Kaget aku oleh tegurannya. Kupandang matanya suatu keheranan tergambar di matanya. Lalu kutanya dia :

“Kau sudah bertemu dengannya?”

“Belum. Untuk itulah aku kesini. Aku harap mas mau menemaniku berkunjung ke rumahnya. Karena bilakah aku sendiri yang berkunjung, takut aku dibilang tak sopan oleh warga kampung. Bagaimana Mas?”

Aku diam melongo ditanya demikian.

“Mas, Mas! Kenapa tho Mas?”

Ditegurnya aku untuk kedua kalinya. Aku kaget, lalu kutarik nafas untuk menguatkan diriku agar tega mengatakan suatu hal yang berkaitan dengan keadaan Titi saat ini.

“Sebelumnya aku minta maaf Gus, tak kukira aku akan berkata suatu yang tak mengenakkan padamu berkaitan dengan keadaan Titi saat ini…”

“Memangnya ada apa dengan Titi, Mas?” potongnya sebelum kuselesaikan penjelasanku.”

“Titi sudah jadi pacarku Gus. Satu bulan mendatang kita berdua akan menikah. Aku harap ini tak benar-benar membuatmu terluka Gus. Aku pun tak hendak menyakitimu dengan mengatakan ini Gus.”

Lega aku menyelesaikan kalimatku itu. Namun kulihat ia begitu kaget lalu tertunduk menyembunyikan kekesalannya. Lama kita berdua saling diam, sepi diantara aku dan Agus terasa begitu menyengat dan menyakitkan. Hingga setelah terasa kian lamanya aku dan Agus terdiam, Agus akhirnya berkata juga, sembari menghela nafas untuk menguatkan dirinya:

“Maaf Mas, bukan maksudku ingin mengganggu ketetapan hati mas pada Titi. Ini hanya karena ketidaktahuanku saja.”

“Tak apa, aku pun maklum.”

“Ya sudah Mas, aku pamit saja.” Sembari meraih tas ranselnya yang tergeletak di lantai ia beranjak dari kursi. Kuiringi dia menuju pintu. Dalam hati sebenarnya ingin kukatakan bahwa aku akan mengundangnya di pernikahanku dengan Titi bulan depan. Namun kehendak agar menjaga hatinya yang sedang kecewa itu lebih besar dari pada sekedar berkata demikian.

“Tepatnya kapan mas pernikahannya?” tanpa kuduga ia bertanya demikian. Sebaris senyum yang dipaksakan tergambar di wajahnya. Berat aku ingin menjawabnya.

“Hari sabtu, tiga maret Gus.”

“Oh.. Ya sudah Mas. Assalamualaikum!” berat suaranya dengan irama yang menurun.

“Wa ‘alaikumsalam!” dengan terbata aku jawab salamnya.
****

Semakin jauh aku melihat sosok Agus dari pelataran taman rumahku, semakin jauh pula jarak hatiku dan Agus sebagai seorang teman. Aku harap ia akan datang bulan depan, saat aku melangsungkan pernikahanku dengan Titi. Aku ingin terus berteman dengannya, pun tak mau kehilangan Titi yang calon istriku itu. Pahit rasanya merasakan suatu kemanisan berupa pernikahanku, bergabung dengan kehambaran akan terputusnya hubungan silaturahmiku dengan Agus. Aku harap itu tak akan terjadi. Karena aku yakin bahwa Agus tidak secungkring yang semula aku kira. Agus, aku harap kau jadi orang yang kuat menerima kenyataan serupa ini.

Senja turun berganti dengan tirai malam yang gelap, seakan menutup kisah pertemananku dengan Agus. Harapku sih, malam tidak berlaku serupa itu. Amin…. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar